Senin, 23 Agustus 2010

Minggu, 22 Agustus 2010

Chord Album Dunia Idola


Sumber :: ICL ning, by : Rick Ardnehc

Kamu dan Aku Bisa
F C Dm Am
Mari raih impian
Bb F Gm C
Bersama kawan semua
F C Dm Am
Pasti ada harapan
Bb F Gm C
Ayo raih bersama
Bb C Am Dm
Pastikan kita kan bisa
Bb C Am Dm
Meraih semua itu
Gm C
Bersama selalu

F C
Hei ayo kita
Dm
Nyanyikanlah
Am Bb
Nada yang indah di lagumu
Am F
Ceria bernyanyi
D Gm
Janganlah kau bersedih
C Bb Am
Kamu dan aku bisa... hei semua
Gm C F
Hei semua... Kamu dan aku bisa

Bb
Berjuanglah
C
Semangatlah
Gm
Jangan kau berhenti
C
Menggapai impian

(Reff overtune)
G D
Hei ayo kita
Em
Nyanyikanlah
Bm C
Nada yang indah di lagumu
Bm G
Ceria bernyanyi
E Am
Janganlah kau bersedih
D C
Kamu dan aku bisa...
Bm
Hei semua
Am D C
Hei semua... kamu dan aku bisa
Bm
Hei semua
Am C D G
Hei semua... kamu dan aku bisa

Rindukan Dirimu
Gm Dm
Berjanjilah wahai sahabatku
D#
Bila kau tinggalkan aku
Cm F
Tetaplah tersenyum
Gm Dm
Meski hati sedih dan menangis
D# Cm F
Kuingin kau tetap tabah menghadapinya
D# Dm
Bila kau harus pergi
D# Dm
Menginggalkan diriku
Cm F
Jangan lupakan aku
Bb F Gm
Semoga dirimu di sana
Dm D#
Kan baik-baik saja
Cm F
Untuk selamanya
Bb F Gm
Di sini aku kan selalu
Dm D#
Rindukan dirimu
D#m Bb
Wahai sahabatku

D# F Bb
Rindukan dirimu

Bundaku
G D Em Bm
Bunda cinta jangan menangis
G D C
Doamu menyinariku
G D Em
Lihat perjuangan diriku
A C Am D
Cerminan dari cintamu yang indah
G D Em Bm
Kau sabar menyayangiku
G D C
Kau peluk kemarahanku
G D Em Bm
Bunda sayang jadi senyumlah
C Bm
Demi bunda cintaku
C D
Kukejar impianku
G D Em
Atas nama cintamu
Bm C Bm
Ku akan meraih semua impian aku
Am D
Untuk bahagiakanmu
G D Em
Atas nama cintamu
Bm C Bm
Kuakan menjadi yang terbaik untukmu
Am D G
Kucinta kamu bunda
G D Em Bm
Bunda sayang jangan menangis
G D C
Doamu menyinariku
G D Em
Aku takkan pernah menyerah
C Bm
Demi bunda cintaku
C D
Kukejar impianku

Berteman Saja
C F C F
Seringkali kumelihat
C F Dm G C
Kau curi-curi pandang ke arah diriku
C F C F
Menggodaku, bikin kumalu
C F Dm G
Titip salam lewat semua teman-temanku
F Em
Kau bilang kau suka padaku
F G
Aku hargai itu
C Em
Kita masih sangat muda
F G
Belum waktunya
Am Em F G
Sekolah saja dulu raih cita-cita
C C7 F G
Urusan pacaran tak usah sekarang
F G C
Kita berteman saja

(Reff overtune)
C# Fm
Kita masih sangat muda
F# G#
Belum waktunya
Bbm Fm F# G#
Sekolah saja dulu raih cita-cita
C# C#7 F# G#
Urusan pacaran tak usah sekarang
F# G# C#
Kita berteman saja


Jangan Menyerah
C D Em
Tak ada manusia
Bm C D G
Yang terlahir sempurna
C D Em
Jangan kau sesali
Bm C D G
Segala yang telah terjadi
C D Em
Kita pasti pernah
Bm C D
Dapatkan cobaan yang berat
C D Em C
Seakan hidup ini tak ada artinya lagi
C D
Syukuri apa yang ada
C D G
Hidup adalah anug’rah
C D Em
Tetap jalani hidup ini
C D G
Melakukan yang terbaik

C
Jangan menyerah
D Em
Jangan menyerah
Bm C D G
Jangan menyerah.......

My Daddy
D Bm
Kau yang selalu mengajariku
G A
Bagaimana menjadi anak yang berbakti
D Bm
Kau yang selalu membelaiku
G A
Saat kumenangis karena aku tak mampu
G
Oh my daddy
F#m D A
Oohh.... oohh....
D Bm
Kau yang selalu memahamiku
G
Walau aku sering membuatmu
A
Tak mengerti
Bm F#m
Kau yang selalu membelaiku
G A
Saat kumenangis karena aku tak mampu
D7 G F#m
Kucinta diri..mu
Em A
Bagiku kau pahlawan hidupku
D7 G F#m
Kusayang diri...mu
Em A
Kuberjanji bahagiakanmu
D
I love you my daddy

Jangan Putus Asa
E B
Kuhirup udara
A B
Dan rasakan hangatnya mentari
E A
Oh indahnya hari ini
F#m B
Menjalani hidup yang pasti
E B
Janganlah menangis
A B
Lepaskan semua beban dihatimu
E A
Ayo ikutlah denganku
F#m B
Kita bernyanyi na na na na na
E C#
Hidup ini hidup yang penuh bahagia
F#m B
Tetap semangat dan jangan putus asa
E C#
Hidup ini hidup yang sangat berarti
F#m B E
Terus berjuang tuk menggapai impian

Dengarkan Curhatku
E A
Dengarkan curhatku
E A
Tentang dirimu
E A
Betapa anehnya
E A F#m B
Tingkah lakumu
E
Jujurlah padaku
B C#m G#m
Jujurlah padaku
E
Kau menyimpan rasa
B A B
Kau menyimpan rasa suka
E
Jangan suka bohong
B C#m G#m
Jangan bohongi aku
E B A B
Perasaan itu perasaan itu suka
E A
Dengarkan curhatku
E A
Tentang dirimu
E A
Betapa lucunya
E A F#m B
Tingkah lakumu

(Reff)

C#m G#m
Dengarkan curhatnya semua tentang kita
A B
Ku tahu dia rasa ku tahu dia suka
C#m G#m
Bilang perasaanmu jujurlah padaku
A B
Jika kau suka katakan saja
E A
Dengarkan curhatku

Senin, 09 Agustus 2010

Foto Gokil IC

Maaf kalo ada yang fotonya kepake disini :)




sempet - sempetnya gaya -___-




Lebar amat buka mulutnya...




monyongggg...




awas lalat masukk!!!




pake baju woyy!!!! Hahaha




say :: Emaaaaaaaakk!!!!




hueeee...




mau maen badminton ato apa?




haduh sampe monyong - monyong




hayo, mau apa?




gak ada kacamata, sendok pun jadi




kok pada monyong????




ohoho... kaya yang pingsan




hihi cikiciwww...




ahahahah...

Selasa, 03 Agustus 2010

Puisi Untuk Kakak... (cerpen)

Puisi Untuk Kakak... (cerpen)

Masih karangan Niezz_Itu_Icilovers....

Namaku Ray, aku tinggal bersama ketiga kakakku, yaitu Kak Alvin, Kak Rio, dan Kak Dea. Orangtuaku sudah tidak ada, Kak Rio dan Kak Alvin, menyalahkanku sebagai penyebab kematian orangtuaku, hanya Kak Dea yang tak pernah menyalahkanku. Kak Dea bilang, Ibuku meninggal karena melahirkanku, Kak Dea juga memberitahuku bahwa keadaan ibuku sangat lemah ketika akan melahirkanku. Dan ketika aku sudah dilahirkan, ibuku langsung pergi. Dan kepergian ibuku membuat ketiga kakakku sangat terpukul. Sedangkan ayahku meninggal karena bunuh diri, ia sangat stress karena kepergian ibuku. Dan sekarang, ketika aku sudah beranjak besar, aku baru mengerti mengapa Kak Alvin dan Kak Rio sangat membenciku, sekalipun aku adalah adik kandungnya.

"Kak, bisa bantu aku? PR ini susah, Kak..." ujarku kepada Kak Alvin yang sedang duduk di ruang keluarga

"Kerjain sendiri bisa nggak sih! Memangnya kamu nggak belajar, apa? Ngerjain kayak gitu aja kamu nggak bisa!" bentak Kak Alvin

"Ma...maaf Kak, aku cuma pengen dibantu," aku tertunduk

"Dibantu apa? Manja banget kamu pake minta dibantu segala, kapan kamu mandiri kalau gitu? Kapan kamu pintar kalau nggak pernah berusaha sendiri?"

Kulihat Kak Alvin sudah mengarahkan telapak tangannya ke arah pipiku, namun tak lama, kulihat ada sebuah tangan yang menahannya. Itu adalah tangan Kak Dea yang menahan tangan Kak Alvin untuk menamparku, akupun segera bersembunyi dibalik Kak Dea, aku takut.

"Alvin!! Kasar banget sih kamu!! Dia tuh adik kita tau!! Wajar kalau dia minta diajarin dan dibantu!!" bentak Kak Dea pada Kak Alvin

"Biarin, biar dia nggak manja, aku nggak sudi punya adik yang manja," Kak Alvin melirikku sinis

"Kamu sebagai Kakak harusnya bisa membantu dia, bukannya memarahi dia!! Kakak macam apa kamu ini??"

"Hei, Dea! Kamu jangan ngebela dia deh, nanti dia makin manja!"

"Wajar aku ngebela dia, karena kamu yang salah, dan dia yang benar...! Ayo, Ray, Kakak bantu, kita kerjakan di kamar Kakak ya?" Kak Dea kemudian memegang tanganku untuk ikut dengannya

"Dasar! Kamu pembunuh kecil! Kalau saja kamu nggak pernah lahir, orangtua kita pasti masih hidup! Pembunuh!!" teriak Kak Alvin padaku, kemudian ia pergi keluar dan membanting pintu

Di kamar Kak Dea, tanpa terasa air mataku mengalir, aku merasa bersalah sekaligus bertanya-tanya, kapan kedua kakak laki-laki ku bisa bersikap baik padaku, aku juga tak mau orangtuaku pergi, dan bahkan jika aku bisa mengubah takdir, aku akan meminta untuk tidak pernah dilahirkan, sehingga kedua orangtuaku masih bisa hidup. Namun aku hanyalah manusia biasa, bukan aku yang menentukan nasib dan takdir seseorang, aku mengerti mereka sangat terpukul, namun itu takdir, tak ada yang bisa mengubahnya.

"Kak... apa aku sejahat itu di mata mereka?" aku terisak, Kak Dea memelukku

"Ray... kamu jangan sedih, ya... suatu hari mereka pasti luluh, percaya deh sama Kakak,"

"Tapi, Kak... kapan mereka luluh? Aku nggak tahan, Kak..."

"Ray... kamu harus sabar dan tabah, hanya itu yang bisa kamu lakukan di saat kayak gini, dengan kesabaran dan ketabahan, kamu pasti bisa bikin mereka luluh, di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin. Sebenci-bencinya mereka sama kamu, kamu tetap adik mereka, dan mereka tetap kakak kamu, mungkin ada yang namanya mantan pacar, atau mantan suami, tapi nggak ada yang namanya mantan adik dan mantan kakak, percayalah, Ray..."

"Kenapa Mama sama Papa nggak mau menasihati Kak Alvin dan Kak Rio?"

"Ray... kamu ada-ada aja deh," Kak Dea tertawa kecil

Kemudian, Kak Dea menghapus air mataku dengan jarinya, aku pun tersenyum kecil, itu memberiku suatu inspirasi, aku akan membuat puisi untuk Kak Dea. Aku pun langsung mengambil selembar kertas, dan sebuah pensil, Kak Dea menatapku penasaran.

"Kamu mau buat apa, Ray?"

"Aku mau buat hadiah buat Kakak,"

"Oh ya, hadiah apa?"

"Tapi Kakak tutup mata dulu.." pintaku manja

"Lho? Kenapa harus tutup mata?"

"Biar jadi kejutan, ayo Kak, tutup matanya...jangan dibuka sampai aku selesai,"

"Iya...iya," Kak Dea pun memejamkan matanya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya

Aku pun segera menulis untaian kata di selembar kertas itu, tanganku dengan lancar menuliskan semua kekagumanku akan sosok malaikat penjagaku itu. Kak Dea bagaikan malaikat penjaga yang selalu ada di sampingku, selalu membuatku tenang dengan kasih sayangnya itu. Dia bagaikan pengganti Ibuku. Tak lama, aku pun selesai, aku berharap Kak Dea akan menyukainya.

"Beres, Kak.. sekarang buka matanya,"

Kak Dea pun membuka matanya dan terlihat terkejut. Aku menyodorkan selembar kertas itu pada Kak Dea.

"Ini..buat Kakak?"

"Iyalah, dibaca, Kak..."

Malaikat Penjagaku

Ribuan hari kulewati dengan hangatnya senyumanmu
Belaian jarimu merasuk dalam sukmaku
Matamu indah sebening embun pagi yang menetes
Bersamamu indah dan aku tak mau kehilangan itu

Malaikat penjagaku... datang mengepakkan sayapnya
Hanya untaian kata indah dan hati tulus yang kupersembahkan
Untuk setiap nyanyian yang ia tujukan untukku
Mengantarku ke dalam mimpi indah dengan suara emasmu

Malaikat penjagaku... suara emasmu adalah harta untukku
Kujejaki jalan ini dengan pengharapan
Semoga selamanya kau dan aku bersama
Dalam sebuah kedamaian dan hati yang bahagia

Kau bilang padaku...
"Adikku, aku akan selalu menjagamu..peri kecilku.."
Atas permohonanku padamu waktu itu...
"Kakak...jaga aku ya...malaikat penjagaku..."


"Gimana, Kak?"

"Ray..."

"Ya?"

"Ini puisi terindah buat Kakak, kamu adalah peri kecil Kakak, Kakak berjanji akan selalu jaga kamu,"

"Kak... aku sayang Kakak,"

"Kakak juga sayang sama kamu, Ray. Tetap jadi peri kecil Kakak ya,"

Kak Dea tersenyum dan meneteskan air mata haru, aku pun memeluknya erat, seolah tidak ingin berpisah. Namun aku tak menyadari, Kak Rio ternyata dari tadi berdiri di dekat pintu. Ketika aku melepas pelukanku, aku menoleh, dan Kak Rio menatapku sinis.

"Dasar adik manja, kekanak-kanakan, jangan sok ya kamu, mentang-mentang paling muda disini," ujar Kak Rio sambil menghampiriku dan kemudian mencubit tanganku dengan keras

"Aduh...aduh...sakit, Kak...sakittt..." aku meringis

PLAKKKK!!!

Aku tak percaya, Kak Dea menampar Kak Rio dengan begitu keras di hadapanku. Kak Rio pun melepas cubitannya dari tanganku, aku mundur, aku takut, aku sedih. Melihat ketiga Kakakku yang tak pernah akur, membuatku sakit hati, sebenarnya bukan keluarga seperti ini yang aku inginkan. Aku ingin, keluargaku rukun dan saling menyayangi, bukannya saling menyakiti seperti ini.

"Dea!! Kamu apa-apaan sih??"

"Kamu yang apa-apaan!! Ray nggak salah, kenapa kamu cubit dia?? Dasar kurang ajar!!"

"Kamu yang kurang ajar! Nampar orang sembarangan!"

"Itu karena kamu nyubit peri kecilku! Kamu nggak boleh nyakitin dia, Rio!"

Kak Rio terlihat terperangah, kemudian ia menoleh ke arahku dan menatapku tajam, aku menunduk takut, kemudian Kak Rio membuang muka dengan tatapan penuh kebencian.

"Adik manja nggak berguna kayak dia yang kamu sebut peri kecil? Sadar, Dea... mana ada peri kecil tapi pembunuh??"

"Dia bukan pembunuh!! Jangan terus-terusan nyalahin dia!! Ray nggak salah!!"

"Sudahlah, kamu mungkin udah kena hasutannya, dasar, anak kecil penghasut,"

"Aku bukan penghasut, Kak..." ujarku pelan

"Ngejawab lagi kamu, berani ngelawan ya?"

"Rio!! Sudah, pergi sana... jangan ganggu Ray lagi!!"

"Cih,"

Kak Rio kemudian keluar dan menendang pintu kamar Kak Dea, Kak Dea kemudian memelukku.

"Kak Alvin sama Kak Rio nggak sayang, ya sama aku?" tanyaku polos

"Mereka sayang kok sama kamu..."

"Tapi kok mereka galak sama aku?"

"Mulut mereka boleh mencaci, memaki, bahkan menyakiti kamu... tapi hati mereka, nggak pernah bisa bohong, mereka nggak bisa membohongi kalau mereka sayang sama kamu..."

"Hah? Masa, Kak?"

"Percaya deh sama Kakak,"

Aku pun tersenyum dalam pelukan Kak Dea.

"KEESOKAN HARINYA"

Aku sedang berada di sekolah, aku masih duduk di kelas 6 SD. Hari itu, aku membawa banyak lembaran puisi karena aku akan mengikuti lomba mengarang dan membaca puisi tingkat antar-sekolah, karena hobiku, aku terpilih menjadi satu-satunya wakil dari sekolahku. Kini, aku sedang duduk sambil merapikan puisi-puisiku, setiap perwakilan akan membacakan sebuah puisi, dan aku akan membacakan puisi tentang keluargaku.

"Aku baca yang mana ya? Jadi bingung,"

Tiba-tiba, datanglah seorang anak perempuan, ia tampak manis dengan pita berwarna biru muda yang mengikat rambut hitamnya. Wajahnya polos, kulitnya bersih, matanya pun bulat dan bening. Senyum tulusnya selalu menghiasi wajah manisnya itu, ditambah lagi sifatnya yang baik, membuatku senang berteman dengannya.

"Hai, Ray... kamu lagi siap-siap ya, buat lomba puisi?"

"Ya, Acha..."

Temanku itu bernama Acha, dia adalah teman yang paling baik yang pernah kukenal.

"Wah, puisi kamu banyak banget ya, kamu jago banget buat puisi,"

"Hehe, nggak juga sih, Cha. Aku tiap hari memang sering mengarang puisi, nggak terasa kalau aku sudah buat sebanyak ini,"

"Tapi kamu hebat banget, kamu dapet inspirasi dari mana aja, Ray?" Acha pun duduk di sebelahku

"Ya, dapet inspirasinya sih dari mana aja... tapi selebihnya dari keluarga,"

"Wow! Pasti keluarga kamu harmonis banget, sampai bisa jadi inspirasi..."

DEG!!
Aku merasa agak sedih, kalau saja Acha tau inspirasiku bukan berasal dari keharmonisan sebuah keluarga, entah apa yang akan ia katakan, kalau saja dia tau untaian kata itu berasal dari kehancuran hubungan adik-kakak, entah apa yang akan meluncur dari mulutnya.

"Bukan dari keharmonisan, Cha..."

"Hah? Maaf... maaf banget Ray, aku nggak bermaksud bikin kamu jadi sedih, maaf banget ya..."

"Nggak apa-apa, Cha..."

"Tapi aku merasa bersalah,"

"Beneran, Cha... nggak apa-apa..."

Acha menatapku dengan tatapan bersalah, aku hanya membalas dengan sebuah senyuman saja untuk meyakinkan aku baik-baik saja, aku harus tegar untuk membacakan puisi nanti. Aku menghela nafasku...

"WAKTU PERLOMBAAN"

"Ray, nanti ketika baca puisi, jangan sampai grogi yah," ujar Bu Ucie, wali kelasku

"Iya, Bu..."

"Kamu harus bisa membanggakan sekolah kita, Ray..." Bu Ira, kepala sekolahku, menyemangatiku

"Pasti, Bu... dimohon doanya, Bu..."

Tak lama, aku melihat ketiga Kakakku datang, Kak Dea menghampiriku, tapi kulihat Kak Alvin dan Kak Rio terlihat tidak senang.

"Ray... kamu memang adik yang hebat... berjuang ya, Ray..."

"Kak, Kak Alvin sama Kak Rio ikut juga?"

"Iya,"

"Mereka mau?"

"Tentu,"

Kemudian, kudengar suara Kak Alvin.

"Kita kesini juga karena terpaksa, dirumah nggak ada kerjaan," ujar Kak Alvin

"Ya, daripada dirumah diem aja, mending ikut Dea deh, meski nggak niat," tukas Kak Rio

"Nggak niat juga nggak apa-apa kok, Kak.. aku udah seneng kok," aku tersenyum

Kak Alvin dan Kak Rio diam saja.

"Doakan aku ya," pintaku pelan pada Kak Alvin dan Kak Rio

"..." mereka tak menjawab, mereka langsung berjalan dan duduk di bangku penonton.

Tanpa terasa, sang pembawa acara lomba telah naik ke atas panggung, keringat dinginku mengucur, aku hanya bisa gugup sambil sesekali mondar-mandir ke kamar mandi, habis itu aku meminum air mineral, dan hanya bisa gigit jari karena aku terlalu gugup.

"Nah, kali ini... kita akan lihat aksi adik-adik yang berprestasi dalam bidang puisi, mereka adalah anak-anak terpilih yang pintar-pintar tentunya... nah, sekarang, kita panggilkan saja peserta pertama, namanya adalah Ahmad Fauzy Adriansyah, dari SD Bina Bangsa," ujar Kak Okky, sang master of ceremony

Peserta pertama naik ke atas panggung, anaknya terlihat pintar, senyumnya juga tulus, kelihatannya dia anak yang baik, aku ingin sekali berteman dengannya.

"Nah, Ahmad Fauzy Adriansyah... nama panggilan kamu siapa?" tanya Kak Okky

"Ozy, Kak..."

"Oh, Ozy... sekarang, kamu mau bacakan puisi tentang apa?"

"Tentang keindahan alam, Kak..."

"Wah, bagus sekali. Semuanya, kita lihat yuk Ozy membaca puisi, silakan, Ozy..." Kak Okky pun segera turun dari atas panggung

Ozy pun segera membacakan puisinya.
Alam...

Hamparan sawah... bertabur kehijauan
Bentangan laut... berkilau biru
Cahaya mentari... Sinari bumi
Tentramkan hati... Sinari diri...

Kicauan burung nan merdu...
Alunan nyanyian alam mengadu...
Bersatu dalam harmoni nan syahdu...
Kusyukuri nikmat alam ini selalu

Bak fatamorgana yang sulit kupercaya
Bak oase ditengah huru-hara dunia
Karunia alam tak terhingga
Yang indah dan mempesona...
"Terima kasih," ujar Ozy

"Wah, Ozy... bagus sekali puisi kamu,"

"Makasih banget, Kak..."

Ozy pun turun dari panggung, kemudian ia melihatku dan menghampiriku.

"Hai..."

"Hai juga,"

"Nama kamu siapa? Aku Ozy,"

"Namaku Ray... salam kenal ya, Ozy..."

"Salam kenal juga, Ray..."

"Puisi kamu bagus banget,"

"Terima kasih, Ray..."

Tak lama, peserta kedua naik ke atas panggung.

"Peserta kedua, namanya Anak Agung Ngurah Deva Ekada Saputra dari SD Putra-Putri Bangsa, kamu biasa dipanggil Deva, ya?"

"Ya, Kak..."

"Nah, sekarang... kamu baca puisi kamu ya,"

Deva pun membacakan puisinya.
Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Tak lelah mengajari...
Diriku yang masih polos ini...
Kau beri ilmu dengan hati
Sayangi diri ini bagai anakmu sendiri

Tiap lembar yang kau bacakan
Berarti segudang manfaat yang kudapatkan
Tiap kata yang kau tuliskan
Berarti hamparan kesuksesan yang kuimpikan

Pahlawan itu.. tak pernah mengharap balas
Walau kadang muridmu malas..
Tetap tekun mengajari dan tulus membimbing
Guruku... aku cinta dirimu...

Sekarang giliranku naik, Ozy pun menyemangatiku, segera kubuang segala rasa gugupku, ketika aku naik ke atas panggung, perasaanku bercampur aduk. Ada bahagia, tapi gugup dan sedih, apalagi ketika aku melihat kakakku.

"Nah, kalau ini namanya Muhammad Raynald Prasetya, dari SD Mentari, kamu biasa dipanggil Ray, ya?"

"Iya..."

"Nah, sekarang, baca ya puisinya,"

Aku menarik nafas dalam-dalam, jantungku berdebar...
My Family... My Life

Walau Bunda... hanya bisa menatap dari surga
Dan Ayah... hanya bisa mengawasi dari atas sana
Aku masih punya malaikat penjaga...
Tiga malaikat penjaga...

Walau aku kadang membuatnya marah, kesal...
Tapi sesungguhnya aku menyayangimu...
Tiap debaran jantung yang berdetak ini..
Sesungguhnya adalah denyutan untuk hidupmu, Kakak...

Tiga orang malaikat penjaga... berparas tulus
Menjagaku kala dinginnya malam menusuk kalbu
Semua jeritan tangis nakalku yang kadang mengusikmu
Adalah caraku untuk mendapatkan perhatianmu

You're my life... I'll die if you die
You're my life... I'll cry if you hurt
My family... My life... I'll smile if they happy
And my family... my life... I'll make you proud of me... Forever
"Terimakasih,"

Semua penonton bertepuk tangan, juri-juri memberikan standing applause, rasanya masih tak percaya. Aku melihat, Kak Dea menghapus air mata bangganya, kulihat Kak Rio dan Kak Alvin tersenyum, walau hanya tersenyum tipis, tapi itu membuatku bahagia tak terkira. Tiba-tiba, Kak Okky menghampiriku, dia memberi jempolnya tanda bahwa puisiku bagus. Kakiku bergetar, kebahagiaan ini memuncah.

Aku pun turun ke bawah panggung, sambil menunggu pengumuman pemenangnya, aku pun memejamkan mata...tiba-tiba kudengar sayup suara.

"Pemenang lomba puisi antar sekolah ini... adalah..................... Muhammad Raynald Prasetya..."

Aku terperanjat, guru-guru menciumku, aku pun naik kembali ke atas panggung, para juri sudah memegang sebuah trophy, kemudian diberikan kepadaku, aku tersenyum sambil menunjukkan piala itu pada semua penonton. Ketiga Kakakku ternyata menyusulku ke atas panggung, Kak Dea memelukku erat, Kak Alvin dan Kak Rio bertatapan, kemudian menyalamiku dan mengelus kepalaku.

"Kamu memang adik yang hebat,"

"Maafkan sikap Kakak selama ini ya,"

Aku mengangguk dan menghapus air mataku, ternyata kesabaranku ada hasilnya, aku bisa meluluhkan hati kedua Kakakku itu. Kini, aku mendapatkan apa yang selama ini aku impikan, kehangatan sebuah keluarga. Aku menatap langit, walaupun awalnya aku merasa tak bisa menjalaninya, tapi ternyata aku bisa mengalahkan keadaan, kini Kak Alvin dan Kak Rio sudah tak lagi membenciku. Aku larut dalam tangisan dan pelukan semua kakakku...

Dan memang benar.... aku punya tiga malaikat penjaga sekarang...
Ketika Kebencian Memudar

Ketika rasa benci memudar... aku bisa terbang menembus pelangi
Ketika rasa amarah memudar... hanya air mata haru yang mendera...
Jiwa yang bahagia... hati yang tak lagi terluka
Semuanya karena tiga malaikat penjagaku...

Aku bersyukur jadi seperti ini...
Walaupun rasanya dulu tak mungkin...
Sinar mata itu... menjadi sumber semangatku...
Yakinkan aku... tuk menjadi yang terbaik

-End-


Jadi... Sahabatku Itu... (cerpen)

Jadi... Sahabatku Itu... (cerpen)

Cerpen ini karangan temen aku,Niezz_Itu_Icilovers. Udah ijin bakal di copy kokkk.. Hehe

-------------------------------------------------------


Sahabat sejatiku... Hilangkah dari ingatanmu
Di hari kita saling berbagi... Dengan kotak sejuta mimpi..
Aku datang menghampirimu... Kuperlihat semua hartaku

Kita slalu berpendapat... Kita ini yang terhebat
Kesombongan di masa muda yang indah...
Aku raja kau pun raja... Aku hitam kau pun hitam
Arti teman lebih dari sekedar materi

Pegang pundakku, jangan pernah lepaskan..
Bila ku mulai lelah.. Lelah dan tak bersinar
Remas sayapku, jangan pernah lepaskan..
Bila ku ingin terbang.. Terbang meninggalkanmu


"GOOOOOOOOOOOOOOOOOOOLLLLL!!"

Alvin berteriak, anak lelaki yang memakai pakaian bola ala idolanya, Christiano Ronaldo, berlari-lari mengelilingi lapangan sambil tertawa puas. Beberapa anak lelaki di belakangnya berkacak pinggang dan mendengus kesal. Mereka adalah tim lawan futsal Alvin. Alvin menghampiriku dan memelukku erat, ia senang karena telah berhasil mengalahkan tim lawan.

"Akhirnya kita menang, Vin!" teriakku

"Iya, Zy!! Aku senang banget!!!" Alvin kembali tertawa

"Akhirnya usaha kita nggak sia-sia..." ujar Deva

"Gila... semangat banget tadi aku pas main," ujar Rio

Aku melihat Ray. Ray hanya tersenyum tipis. Ia adalah salah satu anggota tim futsal kami juga, tapi entah mengapa ia tak menyambut kemenangan tim kami. Ray...

FLASHBACK MODE:ON

Aku mengenal Ray sekitar 2 bulan lalu. Saat itu matahari senja bersinar, dan aku yang sedang sendirian, sedang bermain sepeda mengelilingi kompleks perumahan. Aku melihat Ray yang sedang duduk sendirian di depan gerbang sebuah rumah yang lumayan mewah. Aku sempat heran, rasanya aku tak pernah melihat Ray ataupun rumah itu. Namun saat itu hanya satu yang terlintas di benakku, dia adalah teman baruku. Akupun berkenalan dengan Ray.

"Hai..." aku menyapa Ray

Ray hanya membalas dengan sedikit senyuman yang menyungging di bibirnya. Ia menatapku sesaat, kemudian kembali menatap lurus ke arah jalanan. Aku heran.

"Kamu warga baru ya, di perumahan ini?" tanyaku

Ray mengangguk pelan.

"Kenalin, namaku Ozy... aku tinggal di rumah itu, yang warna pagarnya putih dan cat rumahnya biru. Salam kenal ya...,"

Ray tidak menjabat tanganku

"Namaku Ray, aku tinggal dirumah ini," Ray menunjuk rumah besar di belakangnya

Aku kaget ketika Ray menolak untuk bersalaman. Matanya kosong, dan wajahnya pias serta pucat. Namun raut wajahnya seperti bersahabat.

"Tangan kamu kok dingin banget... sakit ya?" tanyaku

"Nggak, aku nggak sakit kok... aku memang begini," jawab Ray singkat

Tak lama kemudian, kakakku, Gabriel, memanggilku. Aku pun bergegas pamit pada Ray.

"Ehm, aku pulang dulu ya, Ray... nanti kita main bareng ya..." aku pun mengayuh sepedaku

Ray melambaikan tangannya dengan pelan, kemudian tersenyum dingin. Dan ia lalu masuk ke dalam rumahnya. Hatiku masih dipenuhi perasaan ganjil, namun aku langsung menepis seketika pikiranku itu. Mungkin Ray masih sulit berbaur dengan warga di kompleks perumahan ini. Jadi aku berusaha memakluminya.

FLASHBACK MODE:OFF

"Ray? Kok diem aja? Nggak seneng ya, tim kita menang?" tanya Rio

"Aku seneng kok,"

"Trus kenapa kamu nggak teriak-teriak?" tanya Alvin

"Aku takut suaraku habis, Vin. Walaupun aku diam saja bukan berarti aku nggak seneng kan?" jawab Ray

"Kamu itu terlalu kalem, Ray..." ujar Deva

"Watakku memang begini... terserah jika kalian anggap aku terlalu kalem, bagaimanapun itu sifat diriku sendiri..."

Ray pun perlahan berjalan menjauh, ia duduk di bangku yang ada di pinggir lapangan futsal. Semua temanku membicarakan keanehan Ray. Namun aku hanya menatap Ray dari jauh, Ray sempat melirikku sebentar, kemudian Ray kembali menatap nanar ke arah lapangan futsal.

"Ray itu aneh ya? Kalian ngerasa nggak kalo Ray itu beda sama kita?" tanya Alvin

"Aneh dan beda gimana maksud kamu, Vin?"

"Yaaa... dia itu terlalu kalem, trus dingin... bahkan mukanya selalu pucat," Deva mempertegas

"Aku setuju, dia emang kelihatan beda..." Rio menambahkan

"Duuuh, kalian jangan gampang nuduh orang ya, siapa tau Ray lagi sakit atau apa, makanya mukanya pucat..." aku membantah

"Yah, pendapat orang beda-beda sih ya, tapi menurut pandanganku, dia beda... dia beda sama kita, Zy!" Alvin tetap kukuh

"Kalian semua jangan nilai dari wajahnya aja dong!"

"Susah ngomong sama kamu, Zy.." Deva menggelengkan kepala

Aku pun menatap mereka ragu, kemudian aku kembali melihat ke bangku di pinggir lapangan, Ray sudah tidak ada disana, bahkan tasnya juga sudah hilang. Namun ia menghilang begitu cepat, bahkan aku saja sampai tak percaya.

"Sudahlah, mungkin Ray memang lagi sakit..." batinku dalam hati

-------------------------------------------------------

Keesokan harinya, sekolahku mengadakan acara study tour ke sebuah hutan, aku menyambutnya antusias, karena selain berkunjung, kami semua akan berkemah disana. Di bus, aku duduk dengan Deva, sementara Rio duduk dengan Alvin. Tadinya aku ingin mengajak Ray untuk duduk bertiga, namun Ray menolak dan lebih memilih duduk sendirian di bangku pojok di jajaran paling belakang.

"Kok Ray seneng menyendiri ya?" tanyaku

"Nggak tau ah, dia kan bilang sendiri kalau wataknya memang begitu," Deva menatapku gemas

"Tapi... dia penyendiri yang nggak biasa,"

"Nggak biasa gimana maksud kamu, udah ah... males aku," Deva kemudian memasang earphone-nya

"Raaay..." aku memanggilnya

Ray menoleh, tersenyum untuk beberapa saat, kemudian ia kembali menatap ke luar jendela. Tatapan mata kosong seolah menyiratkan sesuatu yang ia sembunyikan. Namun aku tak akan tau dan tak akan pernah mau tau apa yang ia sembunyikan.

Bus perlahan melaju, anak-anak pun mengisi perjalanan dengan mengobrol, bercanda, atau bernyanyi sambil memainkan gitar. Kini giliran Alvin dan Rio yang berkolaborasi. Rio memainkan gitar, sementara Alvin bernyanyi. Tanpa terasa aku hanyut dalam paduan musik indah itu.

Sesungguhnya dia ada di dekatmu... Namun kau tak pernah menyadari itu
Dia slalu menunggumu... Untuk nyatakan cinta
Sesungguhnya dia adalah diriku... Lebih dari sekedar teman dekatmu
Berhentilah mencari... Karna kau tlah menemukannya...

Tak lama, aku pun terlelap tidur....

-------------------------------------------------------

"Ozy... bangun... Ozy..."

"Mmmhhh..."

"Bangun, sudah sampai,"

"Eh... Ray..."

Aku berusaha bangun, namun entah mengapa agak susah. Aku pun meminta bantuan Ray untuk menarikku.

"Ray, bisa tolong aku nggak?"

Ray diam saja.

"Tolong... tarik aku, Ray... aku agak susah nih berdiri,"

Ray menunduk, kemudian menggeleng.

"Maaf, aku nggak bisa," ujarnya datar

"Kenapa nggak bisa? Aku nggak berat kok," aku tersenyum

"Berat atau ringan, aku nggak akan pernah bisa..."

"Terus, gimana nih nasib aku? Ayolah Ray, tolong aku..."

"Tapi aku memang nggak bisa nolong kamu gimanapun caranya, Zy. Maaf banget," Ray menatapku sendu

Aku terpana menatap Ray. Ray kemudian berlalu dan turun dari bus. Aku sekuat tenaga berdiri, namun rasanya aku memang kesusahan. Tak lama, Rio pun datang dan bingung melihatku yang kesusahan seperti ini.

"Ozy... kamu kenapa?"

"Bantu aku, Yo...tarik aku,"

Rio pun menarikku dan aku pun bisa berdiri. Namun aku keheranan mencari sosok Ray yang begitu cepat menghilang di antara deret pepohonan hutan rindang itu.

"Kamu nggak bisa berdiri ya tadi?"

"Iya,"

"Bukannya tadi ada si Ray, kenapa dia nggak nolongin kamu?"

"Dia nggak bisa,"

"Hah? Masa sih dia nggak bisa, jadi makin curiga aku ke dia, Zy..."

"Kamu jangan gampang curiga, kita kan belum tau alasan dia kenapa nggak bisa bantuin aku, Yo..."

"Justru karena kita belum tau... itu makin mencurigakan!"

Aku menghela napas panjang.

"Pfiuuh, terserah kamu..." aku pun turun dari dalam bus

-------------------------------------------------------

Di hutan, kami dan para guru sibuk membuat tenda. Aku dan Deva bersama-sama membangun tenda, Rio dan Alvin sibuk membereskan semua barang bawaan kami. Hanya Ray yang membangun tenda sendirian, tenda itu terletak paling jauh dan berada di dekat pohon yang cukup besar. Aku kasihan melihat Ray yang dari tadi kesusahan, aku pun menghampiri Ray.

"Repot ya, Ray? Biar kubantu ya...?" tawarku

"Apa kamu nggak takut mereka bakal marah sama kamu kalau kamu bantuin aku, Zy?" tanya Ray pelan

"Nggak bakal lah, justru sesama teman harus saling membantu... nah, sini... biar kupasang tenda kamu, kamu beresin barang bawaan kamu aja, urusan tenda biar aku yang urus... oke, Ray?"

Ray mengangguk, kemudian tersenyum. Aku pun balas tersenyum.

"Vin, kamu ngerasa nggak sih, kalau si Ray itu kelewatan? Lihat, tendanya aja dipasangin sama Ozy, keenakan banget tuh si Ray...," tukas Deva

"Iya juga ya, padahal katanya tadi Ray nggak bisa bantuin si Ozy pas Ozy susah bangun di mobil, kok Ozy mau aja sih bantuin dia?" ujar Rio

"Lagipula, Ray itu... kelihatannya aneh, lihat aja.. dia keliatan lemes banget gitu, nggak pernah ceria... sekalinya senyum, senyumnya tipis..." ucap Alvin

Alvin, Deva, dan Rio pun kemudian kembali membangun tenda dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Tanpa terasa, tenda Ray pun telah berdiri. Ray tersenyum seraya memasukkan barang-barangnya kedalam tendanya. Tapi, apa dia yakin dia akan tidur sendiri dalam tenda ini?

"Ray... kamu tidur sendirian di tenda ini nanti malam?"

"Ya..." jawabnya singkat tanpa menoleh padaku

"Kamu... nggak takut?" tanyaku ragu

"Aku nggak perlu dan nggak akan pernah takut... untuk apa aku takut, Zy?"

"Kamu pemberani dong..."

"Aku nggak takut karena memang... aku seharusnya yang ditakuti," ujar Ray

Aku agak tersentak mendengar perkataan Ray tadi. Aku tak mengerti apa arti dari kata-kata 'aku seharusnya yang ditakuti', aku mendadak merasakan angin dingin yang tak seperti biasanya. Ray masih sibuk dengan barang bawaannya, sementara aku pun duduk di depan tendanya.

"Hehehe... maksud kamu tadi itu apa, Ray?"

"Suatu hari, saat kamu tau semuanya, kamu akan tau maksud perkataanku tadi..."

"Hah?"

"Aku mau istirahat,"

"Ya sudah, Ray... selamat istirahat ya,"

Ray tidak menjawab, ia hanya diam kemudian masuk ke tendanya lalu menutup tendanya. Aku sempat memandangi tendanya selama beberapa saat, sampai akhirnya aku pun meninggalkan tenda Ray.

-------------------------------------------------------

Hari beranjak, mulai berganti malam. Bentangan langit gelap bertabur bintang diselimuti udara dingin, aku dan semua teman-temanku pun berkumpul di depan api unggun. Aku meminum segelas susu hangat untuk menghangatkan tubuh, dan tak lupa aku memakai sebuah jaket. Deva, dia tidak ada, aku baru menyadarinya saat gelas Deva masih penuh, belum ada yang meminum.

"Deva mana, Ke?" tanyaku pada Keke, pacar Deva

"Hmmm...katanya dia mau pergi dulu, tapi nggak tau kemana,"

Aku kebingungan mencari dimana Deva, sampai akhirnya aku berjalan ke tendanya Ray tanpa kusadari. Kelihatannya Ray didalam sana belum tidur, aku bisa melihat bayangannya yang sedang duduk. Tadinya aku ingin menyapanya, tapi...

"Hey, ngapain kamu ada di depan tenda si Ray?" tanya Deva seraya merangkulku

"Aku itu tadi nyariin kamu, sampai nggak sadar aku jalan kesini!"

"Ya udah, sekarang kita ke sana, ngumpul-ngumpul, sekalian aku mau pacaran sama Keke,"

"Pacaran di tempat rame?" aku heran

"Daripada di tengah hutan sana? Serem!!"

Deva pun menarikku untuk ikut dengannya, tapi pandanganku masih tertuju pada tenda Ray.

"Kamu kemana aja sih, Dev?" tanya Keke

"Tadi ngadem dulu,"

"Aku takut tau, takut kamu kenapa-kenapa..."

"Nggak usah khawatir," Deva tersenyum pada Keke

Aku pun kembali duduk di sebelah Rio.

"Kamu sebaiknya jangan dekat-dekat tenda dia, Zy..."

"Memangnya kenapa?"

"Takut ada bahaya...."

"Dia kan sahabatku, nggak mungkin dia membahayakan aku!"

"Kalau kamu nggak percaya sih, aku cuma memperingatkan aja, soalnya aku ngerasa ada yang lain dari Ray..."

Karena kesal, aku pun masuk ke dalam tenda. Namun, Rio, Deva, dan Alvin menyusulku ke dalam. Namun, tak lama kemudian aku merasa mengantuk, begitu juga teman-temanku. Kami pun tumbang dan tertidur.

-------------------------------------------------------

Tengah malam, aku mendengar suara seperti langkah kaki seseorang di samping tendaku. Aku pun sukses terbangun, perlahan langkah kaki itu mulai menjauh. Aku pun segera membuka sedikit tenda-ku, setelah kulihat, aku melihat sosok seseorang yang kukenal. Itu Ray!! Ia berjalan gontai ke arah tendanya, tapi ia tak masuk ke tendanya, ia kemudian duduk di depan tendanya. Tengah malam seperti ini, apa yang ia lakukan? Namun, aku melihat Ray kemudian bernyanyi. Nyanyiannya yang mirip merintih itu seketika membuatku terbius dan ketakutan. Malam hari serasa makin mencekam. Terdengar samar-samar suara Ray bernyanyi pelan, ia bernyanyi sambil memeluk lututnya, menatap ke atas pohon besar dekat tendanya dengan tatapan kosong.

Ku tak bisa menggapaimu... Takkan pernah bisa
Walau sudah letih aku... Tak mungkin lepas lagi
Kau hanya mimpi bagiku... Tak untuk jadi nyata
Dan segala rasa buatmu.. Harus padam dan berakhir...

Kau tau... kurasa.... hadirmu....
Antara ada dan tiada...

Aku terlonjak, teman-temanku pun semuanya terbangun. Aku memberikan isyarat agar mereka tidak berisik. Aku masih agak terpana mendengar suara Ray yang ganjil dan tatapannya yang...kosong. Berkali-kali ia mengulang dua bait terakhir lagunya itu. Aku tak mengerti. Ada apa dengan Ray, sahabat baruku itu? Apakah dia... tidak!! Tidak mungkin!! Sejak pertama kali bertemu aku mengerti Ray memang pendiam dan penyendiri, dan aku akan berusaha mengerti apa arti wataknya yang seperti itu. Aku tak mau berburuk sangka terhadap Ray, sahabatku.

"Ada apa sih, memangnya, Zy?" tanya Alvin

"Lagu itu..... antara ada dan tiada," lidahku kelu

"Lagu antara ada dan tiada? Siapa yang nyanyi lagu itu malam-malam begini, Zy?" tanya Deva

"Nggak mungkin dia...nggak mungkin..."

"Siapa yang nyanyi lagu itu?" tanya Rio

"Ray..." jawabku pelan dan parau

"Apa??" mereka kaget

"Apa arti dari lagu itu memangnya?" tanyaku lugu

"Nggak ada yang bisa mengerti arti lagu itu, Zy... kecuali nanti Ray ngasih tau sendiri,"

Aku tak yakin apakah setelah ini aku masih berani berbicara dengan Ray. Bahkan besok pun aku tak tau akan berbicara apa pada Ray.

-------------------------------------------------------

Esoknya, setelah makan dan berberes tenda juga barang bawaan, aku dan teman-temanku pun memutuskan untuk pulang. Semua barang bawaan telah ditaruh dalam bus. Sebelum memulai perjalanan pulang, kami pun berdoa bersama. Ketika aku menundukkan kepala, aku berusaha melihat Ray, ia tidak menunduk, ia melamun. Namun ketika aku melihat kakinya, aku melihat kakinya tidak menyentuh tanah. Berkali-kali aku mencermati, ternyata memang benar kaki Ray tidak menyentuh tanah. Jantungku berdegup kencang, namun kemudian pembacaan doa selesai. Aku masih bingung, apa tadi hanya khayalanku yang berlebihan....atau...nyata? Tanpa berpikir soal itu, aku pun langsung menaiki bus. Ray menatapku dingin.

Dalam bus, aku tak sekalipun berani melihat ke arah Ray.

"Kenapa kamu nggak tanya-tanya lagi soal si Ray?" tanya Deva

"Nggak tau ah, nggak usah bikin aku tambah pusing, deh..."

"Kamu udah nggak peduli lagi sama sahabat baru kamu itu?"

"Kamu bisa nggak, berhenti nanya...? Aku lagi gak mau ditanya!" aku menggertak, Deva hanya diam.

-------------------------------------------------------

Setelah sampai di rumah, aku pun bergegas mengganti baju. Kak Gabriel sampai kebingungan melihatku yang panik. Aku sekarang akan mencari tau siapa Ray sebenarnya.

"Kamu kenapa sih?"

"Tau ah, aku lagi buru-buru nih!"

Secepat kilat, aku mengambil sepedaku dan mengayuhnya ke tempat dimana rumah Ray berada. Namun, ketika sampai di tempat yang aku yakini adalah rumah megah milik Ray, aku hanya melihat sebuah rumah yang nyaris tertutup padang ilalang di sekelilingnya. Tak ada tanda bekas rumah mewah ataupun kehidupan disana.

"RAYYY... RAAAY... RAAAAYYY... KAMU DIMANA?" teriakku

Hening, tak ada jawaban. Beberapa warga yang lewat memperhatikanku dengan tatapan heran.

"Kamu cari siapa, dik?" tanya seseorang

"Cari teman saya, namanya Ray..."

"Ray? Di kompleks ini nggak ada yang namanya Ray, dik..."

"Ada kok! Rumah Ray itu disini," aku menunjuk ke arah rumah yang hampir hancur itu

"Kamu ngaco ya, dik? Rumah itu bertahun-tahun nggak ada yang ngisi sampai akhirnya rusak begitu,"

"2 bulan yang lalu, aku kenalan sama Ray disini! Rumah Ray gede banget! Mewah...!!"

"2 bulan yang lalu, yang ada disini cuman rumah hancur ini," jelas orang itu lagi

Aku jatuh terduduk, padahal aku masih ingat, dulu aku pertama kali berkenalan dengan Ray disini. Namun aku tak percaya dengan kenyataan yang ada, ternyata memang itu mungkin hanya khayalanku saja. Namun entah mengapa kehadiran Ray seolah seperti nyata pada saat itu. Ia duduk pada suatu sore sampai akhirnya aku mengenal sosok Ray, sahabatku itu.

-------------------------------------------------------

Beberapa hari sejak itu, aku tak pernah lagi melihat Ray. Di sekolah, ia pun tak pernah masuk lagi. Setiap aku melewati rumah Ray, aku merasa seperti ada sepasang mata memerhatikanku dari rumah hancur itu. Namun ketika aku membalas menatap ke sana, hanya angin dingin meniup tengkukku.

Aku pun mendapat kabar, kalau di jalan itu, dulu pernah ada kecelakaan sekeluarga. Kecelakaan tragis. Dan menurut warga setempat, darah bekas korban kecelakaan itu belum sempat dibersihkan hingga dibiarkan mengering. Itu sebabnya mengapa aku bisa mengenal Ray. Kecelakaan maut itu memang menimpa Ray dan keluarganya. Dan semuanya tewas di tempat. Aku hanya termenung menatap kenyataan.

"Ray... walaupun berbeda dunia, kita tetap bersahabat. Karena, disini aku mengenalmu, maka disini pula aku mengenangmu. Kumohon, aku ingin ketemu kamu lagi, muncullah... walau sebentar. Kamu tetap sahabatku, walau berbeda dunia... kamu tetap sahabatku," aku tak sanggup

Perlahan, aku pun mengayuh sepedaku meninggalkan tempat itu. Ketika aku menoleh sebentar, aku melihat Ray yang tersenyum, kemudian berlari ke dalam rumah itu. Aku tersenyum. Akhirnya aku dan Ray bertemu untuk yang terakhir lagi. Ternyata... Ray itu... berbeda denganku. Sangat berbeda.
Dua Dunia

Sore itu aku mengenalnya, bertemu dengannya
Dengan tatapan suka tapi dengan raut wajah pias
Senyumnya yang dingin seolah menyiratkan kesunyian
Kesunyian yang ternyata menyiksa jiwa hampanya

Aku tersudut di sudut hari
Menunggu dimana gelapnya pagi
Menghempas semua mimpi dan omong kosong
Saat terakhir ku melihatmu berlari menjauh

Sahabat dua dunia..walau berbeda
Hati terpaut walau raga tak sama
Jiwa berbeda dan keberadaan pun tak serupa
Namun persahabatan kita... tak terbatas dua dunia


-THE END-

Senin, 02 Agustus 2010