Selasa, 03 Agustus 2010

Jadi... Sahabatku Itu... (cerpen)

Jadi... Sahabatku Itu... (cerpen)

Cerpen ini karangan temen aku,Niezz_Itu_Icilovers. Udah ijin bakal di copy kokkk.. Hehe

-------------------------------------------------------


Sahabat sejatiku... Hilangkah dari ingatanmu
Di hari kita saling berbagi... Dengan kotak sejuta mimpi..
Aku datang menghampirimu... Kuperlihat semua hartaku

Kita slalu berpendapat... Kita ini yang terhebat
Kesombongan di masa muda yang indah...
Aku raja kau pun raja... Aku hitam kau pun hitam
Arti teman lebih dari sekedar materi

Pegang pundakku, jangan pernah lepaskan..
Bila ku mulai lelah.. Lelah dan tak bersinar
Remas sayapku, jangan pernah lepaskan..
Bila ku ingin terbang.. Terbang meninggalkanmu


"GOOOOOOOOOOOOOOOOOOOLLLLL!!"

Alvin berteriak, anak lelaki yang memakai pakaian bola ala idolanya, Christiano Ronaldo, berlari-lari mengelilingi lapangan sambil tertawa puas. Beberapa anak lelaki di belakangnya berkacak pinggang dan mendengus kesal. Mereka adalah tim lawan futsal Alvin. Alvin menghampiriku dan memelukku erat, ia senang karena telah berhasil mengalahkan tim lawan.

"Akhirnya kita menang, Vin!" teriakku

"Iya, Zy!! Aku senang banget!!!" Alvin kembali tertawa

"Akhirnya usaha kita nggak sia-sia..." ujar Deva

"Gila... semangat banget tadi aku pas main," ujar Rio

Aku melihat Ray. Ray hanya tersenyum tipis. Ia adalah salah satu anggota tim futsal kami juga, tapi entah mengapa ia tak menyambut kemenangan tim kami. Ray...

FLASHBACK MODE:ON

Aku mengenal Ray sekitar 2 bulan lalu. Saat itu matahari senja bersinar, dan aku yang sedang sendirian, sedang bermain sepeda mengelilingi kompleks perumahan. Aku melihat Ray yang sedang duduk sendirian di depan gerbang sebuah rumah yang lumayan mewah. Aku sempat heran, rasanya aku tak pernah melihat Ray ataupun rumah itu. Namun saat itu hanya satu yang terlintas di benakku, dia adalah teman baruku. Akupun berkenalan dengan Ray.

"Hai..." aku menyapa Ray

Ray hanya membalas dengan sedikit senyuman yang menyungging di bibirnya. Ia menatapku sesaat, kemudian kembali menatap lurus ke arah jalanan. Aku heran.

"Kamu warga baru ya, di perumahan ini?" tanyaku

Ray mengangguk pelan.

"Kenalin, namaku Ozy... aku tinggal di rumah itu, yang warna pagarnya putih dan cat rumahnya biru. Salam kenal ya...,"

Ray tidak menjabat tanganku

"Namaku Ray, aku tinggal dirumah ini," Ray menunjuk rumah besar di belakangnya

Aku kaget ketika Ray menolak untuk bersalaman. Matanya kosong, dan wajahnya pias serta pucat. Namun raut wajahnya seperti bersahabat.

"Tangan kamu kok dingin banget... sakit ya?" tanyaku

"Nggak, aku nggak sakit kok... aku memang begini," jawab Ray singkat

Tak lama kemudian, kakakku, Gabriel, memanggilku. Aku pun bergegas pamit pada Ray.

"Ehm, aku pulang dulu ya, Ray... nanti kita main bareng ya..." aku pun mengayuh sepedaku

Ray melambaikan tangannya dengan pelan, kemudian tersenyum dingin. Dan ia lalu masuk ke dalam rumahnya. Hatiku masih dipenuhi perasaan ganjil, namun aku langsung menepis seketika pikiranku itu. Mungkin Ray masih sulit berbaur dengan warga di kompleks perumahan ini. Jadi aku berusaha memakluminya.

FLASHBACK MODE:OFF

"Ray? Kok diem aja? Nggak seneng ya, tim kita menang?" tanya Rio

"Aku seneng kok,"

"Trus kenapa kamu nggak teriak-teriak?" tanya Alvin

"Aku takut suaraku habis, Vin. Walaupun aku diam saja bukan berarti aku nggak seneng kan?" jawab Ray

"Kamu itu terlalu kalem, Ray..." ujar Deva

"Watakku memang begini... terserah jika kalian anggap aku terlalu kalem, bagaimanapun itu sifat diriku sendiri..."

Ray pun perlahan berjalan menjauh, ia duduk di bangku yang ada di pinggir lapangan futsal. Semua temanku membicarakan keanehan Ray. Namun aku hanya menatap Ray dari jauh, Ray sempat melirikku sebentar, kemudian Ray kembali menatap nanar ke arah lapangan futsal.

"Ray itu aneh ya? Kalian ngerasa nggak kalo Ray itu beda sama kita?" tanya Alvin

"Aneh dan beda gimana maksud kamu, Vin?"

"Yaaa... dia itu terlalu kalem, trus dingin... bahkan mukanya selalu pucat," Deva mempertegas

"Aku setuju, dia emang kelihatan beda..." Rio menambahkan

"Duuuh, kalian jangan gampang nuduh orang ya, siapa tau Ray lagi sakit atau apa, makanya mukanya pucat..." aku membantah

"Yah, pendapat orang beda-beda sih ya, tapi menurut pandanganku, dia beda... dia beda sama kita, Zy!" Alvin tetap kukuh

"Kalian semua jangan nilai dari wajahnya aja dong!"

"Susah ngomong sama kamu, Zy.." Deva menggelengkan kepala

Aku pun menatap mereka ragu, kemudian aku kembali melihat ke bangku di pinggir lapangan, Ray sudah tidak ada disana, bahkan tasnya juga sudah hilang. Namun ia menghilang begitu cepat, bahkan aku saja sampai tak percaya.

"Sudahlah, mungkin Ray memang lagi sakit..." batinku dalam hati

-------------------------------------------------------

Keesokan harinya, sekolahku mengadakan acara study tour ke sebuah hutan, aku menyambutnya antusias, karena selain berkunjung, kami semua akan berkemah disana. Di bus, aku duduk dengan Deva, sementara Rio duduk dengan Alvin. Tadinya aku ingin mengajak Ray untuk duduk bertiga, namun Ray menolak dan lebih memilih duduk sendirian di bangku pojok di jajaran paling belakang.

"Kok Ray seneng menyendiri ya?" tanyaku

"Nggak tau ah, dia kan bilang sendiri kalau wataknya memang begitu," Deva menatapku gemas

"Tapi... dia penyendiri yang nggak biasa,"

"Nggak biasa gimana maksud kamu, udah ah... males aku," Deva kemudian memasang earphone-nya

"Raaay..." aku memanggilnya

Ray menoleh, tersenyum untuk beberapa saat, kemudian ia kembali menatap ke luar jendela. Tatapan mata kosong seolah menyiratkan sesuatu yang ia sembunyikan. Namun aku tak akan tau dan tak akan pernah mau tau apa yang ia sembunyikan.

Bus perlahan melaju, anak-anak pun mengisi perjalanan dengan mengobrol, bercanda, atau bernyanyi sambil memainkan gitar. Kini giliran Alvin dan Rio yang berkolaborasi. Rio memainkan gitar, sementara Alvin bernyanyi. Tanpa terasa aku hanyut dalam paduan musik indah itu.

Sesungguhnya dia ada di dekatmu... Namun kau tak pernah menyadari itu
Dia slalu menunggumu... Untuk nyatakan cinta
Sesungguhnya dia adalah diriku... Lebih dari sekedar teman dekatmu
Berhentilah mencari... Karna kau tlah menemukannya...

Tak lama, aku pun terlelap tidur....

-------------------------------------------------------

"Ozy... bangun... Ozy..."

"Mmmhhh..."

"Bangun, sudah sampai,"

"Eh... Ray..."

Aku berusaha bangun, namun entah mengapa agak susah. Aku pun meminta bantuan Ray untuk menarikku.

"Ray, bisa tolong aku nggak?"

Ray diam saja.

"Tolong... tarik aku, Ray... aku agak susah nih berdiri,"

Ray menunduk, kemudian menggeleng.

"Maaf, aku nggak bisa," ujarnya datar

"Kenapa nggak bisa? Aku nggak berat kok," aku tersenyum

"Berat atau ringan, aku nggak akan pernah bisa..."

"Terus, gimana nih nasib aku? Ayolah Ray, tolong aku..."

"Tapi aku memang nggak bisa nolong kamu gimanapun caranya, Zy. Maaf banget," Ray menatapku sendu

Aku terpana menatap Ray. Ray kemudian berlalu dan turun dari bus. Aku sekuat tenaga berdiri, namun rasanya aku memang kesusahan. Tak lama, Rio pun datang dan bingung melihatku yang kesusahan seperti ini.

"Ozy... kamu kenapa?"

"Bantu aku, Yo...tarik aku,"

Rio pun menarikku dan aku pun bisa berdiri. Namun aku keheranan mencari sosok Ray yang begitu cepat menghilang di antara deret pepohonan hutan rindang itu.

"Kamu nggak bisa berdiri ya tadi?"

"Iya,"

"Bukannya tadi ada si Ray, kenapa dia nggak nolongin kamu?"

"Dia nggak bisa,"

"Hah? Masa sih dia nggak bisa, jadi makin curiga aku ke dia, Zy..."

"Kamu jangan gampang curiga, kita kan belum tau alasan dia kenapa nggak bisa bantuin aku, Yo..."

"Justru karena kita belum tau... itu makin mencurigakan!"

Aku menghela napas panjang.

"Pfiuuh, terserah kamu..." aku pun turun dari dalam bus

-------------------------------------------------------

Di hutan, kami dan para guru sibuk membuat tenda. Aku dan Deva bersama-sama membangun tenda, Rio dan Alvin sibuk membereskan semua barang bawaan kami. Hanya Ray yang membangun tenda sendirian, tenda itu terletak paling jauh dan berada di dekat pohon yang cukup besar. Aku kasihan melihat Ray yang dari tadi kesusahan, aku pun menghampiri Ray.

"Repot ya, Ray? Biar kubantu ya...?" tawarku

"Apa kamu nggak takut mereka bakal marah sama kamu kalau kamu bantuin aku, Zy?" tanya Ray pelan

"Nggak bakal lah, justru sesama teman harus saling membantu... nah, sini... biar kupasang tenda kamu, kamu beresin barang bawaan kamu aja, urusan tenda biar aku yang urus... oke, Ray?"

Ray mengangguk, kemudian tersenyum. Aku pun balas tersenyum.

"Vin, kamu ngerasa nggak sih, kalau si Ray itu kelewatan? Lihat, tendanya aja dipasangin sama Ozy, keenakan banget tuh si Ray...," tukas Deva

"Iya juga ya, padahal katanya tadi Ray nggak bisa bantuin si Ozy pas Ozy susah bangun di mobil, kok Ozy mau aja sih bantuin dia?" ujar Rio

"Lagipula, Ray itu... kelihatannya aneh, lihat aja.. dia keliatan lemes banget gitu, nggak pernah ceria... sekalinya senyum, senyumnya tipis..." ucap Alvin

Alvin, Deva, dan Rio pun kemudian kembali membangun tenda dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Tanpa terasa, tenda Ray pun telah berdiri. Ray tersenyum seraya memasukkan barang-barangnya kedalam tendanya. Tapi, apa dia yakin dia akan tidur sendiri dalam tenda ini?

"Ray... kamu tidur sendirian di tenda ini nanti malam?"

"Ya..." jawabnya singkat tanpa menoleh padaku

"Kamu... nggak takut?" tanyaku ragu

"Aku nggak perlu dan nggak akan pernah takut... untuk apa aku takut, Zy?"

"Kamu pemberani dong..."

"Aku nggak takut karena memang... aku seharusnya yang ditakuti," ujar Ray

Aku agak tersentak mendengar perkataan Ray tadi. Aku tak mengerti apa arti dari kata-kata 'aku seharusnya yang ditakuti', aku mendadak merasakan angin dingin yang tak seperti biasanya. Ray masih sibuk dengan barang bawaannya, sementara aku pun duduk di depan tendanya.

"Hehehe... maksud kamu tadi itu apa, Ray?"

"Suatu hari, saat kamu tau semuanya, kamu akan tau maksud perkataanku tadi..."

"Hah?"

"Aku mau istirahat,"

"Ya sudah, Ray... selamat istirahat ya,"

Ray tidak menjawab, ia hanya diam kemudian masuk ke tendanya lalu menutup tendanya. Aku sempat memandangi tendanya selama beberapa saat, sampai akhirnya aku pun meninggalkan tenda Ray.

-------------------------------------------------------

Hari beranjak, mulai berganti malam. Bentangan langit gelap bertabur bintang diselimuti udara dingin, aku dan semua teman-temanku pun berkumpul di depan api unggun. Aku meminum segelas susu hangat untuk menghangatkan tubuh, dan tak lupa aku memakai sebuah jaket. Deva, dia tidak ada, aku baru menyadarinya saat gelas Deva masih penuh, belum ada yang meminum.

"Deva mana, Ke?" tanyaku pada Keke, pacar Deva

"Hmmm...katanya dia mau pergi dulu, tapi nggak tau kemana,"

Aku kebingungan mencari dimana Deva, sampai akhirnya aku berjalan ke tendanya Ray tanpa kusadari. Kelihatannya Ray didalam sana belum tidur, aku bisa melihat bayangannya yang sedang duduk. Tadinya aku ingin menyapanya, tapi...

"Hey, ngapain kamu ada di depan tenda si Ray?" tanya Deva seraya merangkulku

"Aku itu tadi nyariin kamu, sampai nggak sadar aku jalan kesini!"

"Ya udah, sekarang kita ke sana, ngumpul-ngumpul, sekalian aku mau pacaran sama Keke,"

"Pacaran di tempat rame?" aku heran

"Daripada di tengah hutan sana? Serem!!"

Deva pun menarikku untuk ikut dengannya, tapi pandanganku masih tertuju pada tenda Ray.

"Kamu kemana aja sih, Dev?" tanya Keke

"Tadi ngadem dulu,"

"Aku takut tau, takut kamu kenapa-kenapa..."

"Nggak usah khawatir," Deva tersenyum pada Keke

Aku pun kembali duduk di sebelah Rio.

"Kamu sebaiknya jangan dekat-dekat tenda dia, Zy..."

"Memangnya kenapa?"

"Takut ada bahaya...."

"Dia kan sahabatku, nggak mungkin dia membahayakan aku!"

"Kalau kamu nggak percaya sih, aku cuma memperingatkan aja, soalnya aku ngerasa ada yang lain dari Ray..."

Karena kesal, aku pun masuk ke dalam tenda. Namun, Rio, Deva, dan Alvin menyusulku ke dalam. Namun, tak lama kemudian aku merasa mengantuk, begitu juga teman-temanku. Kami pun tumbang dan tertidur.

-------------------------------------------------------

Tengah malam, aku mendengar suara seperti langkah kaki seseorang di samping tendaku. Aku pun sukses terbangun, perlahan langkah kaki itu mulai menjauh. Aku pun segera membuka sedikit tenda-ku, setelah kulihat, aku melihat sosok seseorang yang kukenal. Itu Ray!! Ia berjalan gontai ke arah tendanya, tapi ia tak masuk ke tendanya, ia kemudian duduk di depan tendanya. Tengah malam seperti ini, apa yang ia lakukan? Namun, aku melihat Ray kemudian bernyanyi. Nyanyiannya yang mirip merintih itu seketika membuatku terbius dan ketakutan. Malam hari serasa makin mencekam. Terdengar samar-samar suara Ray bernyanyi pelan, ia bernyanyi sambil memeluk lututnya, menatap ke atas pohon besar dekat tendanya dengan tatapan kosong.

Ku tak bisa menggapaimu... Takkan pernah bisa
Walau sudah letih aku... Tak mungkin lepas lagi
Kau hanya mimpi bagiku... Tak untuk jadi nyata
Dan segala rasa buatmu.. Harus padam dan berakhir...

Kau tau... kurasa.... hadirmu....
Antara ada dan tiada...

Aku terlonjak, teman-temanku pun semuanya terbangun. Aku memberikan isyarat agar mereka tidak berisik. Aku masih agak terpana mendengar suara Ray yang ganjil dan tatapannya yang...kosong. Berkali-kali ia mengulang dua bait terakhir lagunya itu. Aku tak mengerti. Ada apa dengan Ray, sahabat baruku itu? Apakah dia... tidak!! Tidak mungkin!! Sejak pertama kali bertemu aku mengerti Ray memang pendiam dan penyendiri, dan aku akan berusaha mengerti apa arti wataknya yang seperti itu. Aku tak mau berburuk sangka terhadap Ray, sahabatku.

"Ada apa sih, memangnya, Zy?" tanya Alvin

"Lagu itu..... antara ada dan tiada," lidahku kelu

"Lagu antara ada dan tiada? Siapa yang nyanyi lagu itu malam-malam begini, Zy?" tanya Deva

"Nggak mungkin dia...nggak mungkin..."

"Siapa yang nyanyi lagu itu?" tanya Rio

"Ray..." jawabku pelan dan parau

"Apa??" mereka kaget

"Apa arti dari lagu itu memangnya?" tanyaku lugu

"Nggak ada yang bisa mengerti arti lagu itu, Zy... kecuali nanti Ray ngasih tau sendiri,"

Aku tak yakin apakah setelah ini aku masih berani berbicara dengan Ray. Bahkan besok pun aku tak tau akan berbicara apa pada Ray.

-------------------------------------------------------

Esoknya, setelah makan dan berberes tenda juga barang bawaan, aku dan teman-temanku pun memutuskan untuk pulang. Semua barang bawaan telah ditaruh dalam bus. Sebelum memulai perjalanan pulang, kami pun berdoa bersama. Ketika aku menundukkan kepala, aku berusaha melihat Ray, ia tidak menunduk, ia melamun. Namun ketika aku melihat kakinya, aku melihat kakinya tidak menyentuh tanah. Berkali-kali aku mencermati, ternyata memang benar kaki Ray tidak menyentuh tanah. Jantungku berdegup kencang, namun kemudian pembacaan doa selesai. Aku masih bingung, apa tadi hanya khayalanku yang berlebihan....atau...nyata? Tanpa berpikir soal itu, aku pun langsung menaiki bus. Ray menatapku dingin.

Dalam bus, aku tak sekalipun berani melihat ke arah Ray.

"Kenapa kamu nggak tanya-tanya lagi soal si Ray?" tanya Deva

"Nggak tau ah, nggak usah bikin aku tambah pusing, deh..."

"Kamu udah nggak peduli lagi sama sahabat baru kamu itu?"

"Kamu bisa nggak, berhenti nanya...? Aku lagi gak mau ditanya!" aku menggertak, Deva hanya diam.

-------------------------------------------------------

Setelah sampai di rumah, aku pun bergegas mengganti baju. Kak Gabriel sampai kebingungan melihatku yang panik. Aku sekarang akan mencari tau siapa Ray sebenarnya.

"Kamu kenapa sih?"

"Tau ah, aku lagi buru-buru nih!"

Secepat kilat, aku mengambil sepedaku dan mengayuhnya ke tempat dimana rumah Ray berada. Namun, ketika sampai di tempat yang aku yakini adalah rumah megah milik Ray, aku hanya melihat sebuah rumah yang nyaris tertutup padang ilalang di sekelilingnya. Tak ada tanda bekas rumah mewah ataupun kehidupan disana.

"RAYYY... RAAAY... RAAAAYYY... KAMU DIMANA?" teriakku

Hening, tak ada jawaban. Beberapa warga yang lewat memperhatikanku dengan tatapan heran.

"Kamu cari siapa, dik?" tanya seseorang

"Cari teman saya, namanya Ray..."

"Ray? Di kompleks ini nggak ada yang namanya Ray, dik..."

"Ada kok! Rumah Ray itu disini," aku menunjuk ke arah rumah yang hampir hancur itu

"Kamu ngaco ya, dik? Rumah itu bertahun-tahun nggak ada yang ngisi sampai akhirnya rusak begitu,"

"2 bulan yang lalu, aku kenalan sama Ray disini! Rumah Ray gede banget! Mewah...!!"

"2 bulan yang lalu, yang ada disini cuman rumah hancur ini," jelas orang itu lagi

Aku jatuh terduduk, padahal aku masih ingat, dulu aku pertama kali berkenalan dengan Ray disini. Namun aku tak percaya dengan kenyataan yang ada, ternyata memang itu mungkin hanya khayalanku saja. Namun entah mengapa kehadiran Ray seolah seperti nyata pada saat itu. Ia duduk pada suatu sore sampai akhirnya aku mengenal sosok Ray, sahabatku itu.

-------------------------------------------------------

Beberapa hari sejak itu, aku tak pernah lagi melihat Ray. Di sekolah, ia pun tak pernah masuk lagi. Setiap aku melewati rumah Ray, aku merasa seperti ada sepasang mata memerhatikanku dari rumah hancur itu. Namun ketika aku membalas menatap ke sana, hanya angin dingin meniup tengkukku.

Aku pun mendapat kabar, kalau di jalan itu, dulu pernah ada kecelakaan sekeluarga. Kecelakaan tragis. Dan menurut warga setempat, darah bekas korban kecelakaan itu belum sempat dibersihkan hingga dibiarkan mengering. Itu sebabnya mengapa aku bisa mengenal Ray. Kecelakaan maut itu memang menimpa Ray dan keluarganya. Dan semuanya tewas di tempat. Aku hanya termenung menatap kenyataan.

"Ray... walaupun berbeda dunia, kita tetap bersahabat. Karena, disini aku mengenalmu, maka disini pula aku mengenangmu. Kumohon, aku ingin ketemu kamu lagi, muncullah... walau sebentar. Kamu tetap sahabatku, walau berbeda dunia... kamu tetap sahabatku," aku tak sanggup

Perlahan, aku pun mengayuh sepedaku meninggalkan tempat itu. Ketika aku menoleh sebentar, aku melihat Ray yang tersenyum, kemudian berlari ke dalam rumah itu. Aku tersenyum. Akhirnya aku dan Ray bertemu untuk yang terakhir lagi. Ternyata... Ray itu... berbeda denganku. Sangat berbeda.
Dua Dunia

Sore itu aku mengenalnya, bertemu dengannya
Dengan tatapan suka tapi dengan raut wajah pias
Senyumnya yang dingin seolah menyiratkan kesunyian
Kesunyian yang ternyata menyiksa jiwa hampanya

Aku tersudut di sudut hari
Menunggu dimana gelapnya pagi
Menghempas semua mimpi dan omong kosong
Saat terakhir ku melihatmu berlari menjauh

Sahabat dua dunia..walau berbeda
Hati terpaut walau raga tak sama
Jiwa berbeda dan keberadaan pun tak serupa
Namun persahabatan kita... tak terbatas dua dunia


-THE END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar