Selasa, 03 Agustus 2010

Puisi Untuk Kakak... (cerpen)

Puisi Untuk Kakak... (cerpen)

Masih karangan Niezz_Itu_Icilovers....

Namaku Ray, aku tinggal bersama ketiga kakakku, yaitu Kak Alvin, Kak Rio, dan Kak Dea. Orangtuaku sudah tidak ada, Kak Rio dan Kak Alvin, menyalahkanku sebagai penyebab kematian orangtuaku, hanya Kak Dea yang tak pernah menyalahkanku. Kak Dea bilang, Ibuku meninggal karena melahirkanku, Kak Dea juga memberitahuku bahwa keadaan ibuku sangat lemah ketika akan melahirkanku. Dan ketika aku sudah dilahirkan, ibuku langsung pergi. Dan kepergian ibuku membuat ketiga kakakku sangat terpukul. Sedangkan ayahku meninggal karena bunuh diri, ia sangat stress karena kepergian ibuku. Dan sekarang, ketika aku sudah beranjak besar, aku baru mengerti mengapa Kak Alvin dan Kak Rio sangat membenciku, sekalipun aku adalah adik kandungnya.

"Kak, bisa bantu aku? PR ini susah, Kak..." ujarku kepada Kak Alvin yang sedang duduk di ruang keluarga

"Kerjain sendiri bisa nggak sih! Memangnya kamu nggak belajar, apa? Ngerjain kayak gitu aja kamu nggak bisa!" bentak Kak Alvin

"Ma...maaf Kak, aku cuma pengen dibantu," aku tertunduk

"Dibantu apa? Manja banget kamu pake minta dibantu segala, kapan kamu mandiri kalau gitu? Kapan kamu pintar kalau nggak pernah berusaha sendiri?"

Kulihat Kak Alvin sudah mengarahkan telapak tangannya ke arah pipiku, namun tak lama, kulihat ada sebuah tangan yang menahannya. Itu adalah tangan Kak Dea yang menahan tangan Kak Alvin untuk menamparku, akupun segera bersembunyi dibalik Kak Dea, aku takut.

"Alvin!! Kasar banget sih kamu!! Dia tuh adik kita tau!! Wajar kalau dia minta diajarin dan dibantu!!" bentak Kak Dea pada Kak Alvin

"Biarin, biar dia nggak manja, aku nggak sudi punya adik yang manja," Kak Alvin melirikku sinis

"Kamu sebagai Kakak harusnya bisa membantu dia, bukannya memarahi dia!! Kakak macam apa kamu ini??"

"Hei, Dea! Kamu jangan ngebela dia deh, nanti dia makin manja!"

"Wajar aku ngebela dia, karena kamu yang salah, dan dia yang benar...! Ayo, Ray, Kakak bantu, kita kerjakan di kamar Kakak ya?" Kak Dea kemudian memegang tanganku untuk ikut dengannya

"Dasar! Kamu pembunuh kecil! Kalau saja kamu nggak pernah lahir, orangtua kita pasti masih hidup! Pembunuh!!" teriak Kak Alvin padaku, kemudian ia pergi keluar dan membanting pintu

Di kamar Kak Dea, tanpa terasa air mataku mengalir, aku merasa bersalah sekaligus bertanya-tanya, kapan kedua kakak laki-laki ku bisa bersikap baik padaku, aku juga tak mau orangtuaku pergi, dan bahkan jika aku bisa mengubah takdir, aku akan meminta untuk tidak pernah dilahirkan, sehingga kedua orangtuaku masih bisa hidup. Namun aku hanyalah manusia biasa, bukan aku yang menentukan nasib dan takdir seseorang, aku mengerti mereka sangat terpukul, namun itu takdir, tak ada yang bisa mengubahnya.

"Kak... apa aku sejahat itu di mata mereka?" aku terisak, Kak Dea memelukku

"Ray... kamu jangan sedih, ya... suatu hari mereka pasti luluh, percaya deh sama Kakak,"

"Tapi, Kak... kapan mereka luluh? Aku nggak tahan, Kak..."

"Ray... kamu harus sabar dan tabah, hanya itu yang bisa kamu lakukan di saat kayak gini, dengan kesabaran dan ketabahan, kamu pasti bisa bikin mereka luluh, di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin. Sebenci-bencinya mereka sama kamu, kamu tetap adik mereka, dan mereka tetap kakak kamu, mungkin ada yang namanya mantan pacar, atau mantan suami, tapi nggak ada yang namanya mantan adik dan mantan kakak, percayalah, Ray..."

"Kenapa Mama sama Papa nggak mau menasihati Kak Alvin dan Kak Rio?"

"Ray... kamu ada-ada aja deh," Kak Dea tertawa kecil

Kemudian, Kak Dea menghapus air mataku dengan jarinya, aku pun tersenyum kecil, itu memberiku suatu inspirasi, aku akan membuat puisi untuk Kak Dea. Aku pun langsung mengambil selembar kertas, dan sebuah pensil, Kak Dea menatapku penasaran.

"Kamu mau buat apa, Ray?"

"Aku mau buat hadiah buat Kakak,"

"Oh ya, hadiah apa?"

"Tapi Kakak tutup mata dulu.." pintaku manja

"Lho? Kenapa harus tutup mata?"

"Biar jadi kejutan, ayo Kak, tutup matanya...jangan dibuka sampai aku selesai,"

"Iya...iya," Kak Dea pun memejamkan matanya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya

Aku pun segera menulis untaian kata di selembar kertas itu, tanganku dengan lancar menuliskan semua kekagumanku akan sosok malaikat penjagaku itu. Kak Dea bagaikan malaikat penjaga yang selalu ada di sampingku, selalu membuatku tenang dengan kasih sayangnya itu. Dia bagaikan pengganti Ibuku. Tak lama, aku pun selesai, aku berharap Kak Dea akan menyukainya.

"Beres, Kak.. sekarang buka matanya,"

Kak Dea pun membuka matanya dan terlihat terkejut. Aku menyodorkan selembar kertas itu pada Kak Dea.

"Ini..buat Kakak?"

"Iyalah, dibaca, Kak..."

Malaikat Penjagaku

Ribuan hari kulewati dengan hangatnya senyumanmu
Belaian jarimu merasuk dalam sukmaku
Matamu indah sebening embun pagi yang menetes
Bersamamu indah dan aku tak mau kehilangan itu

Malaikat penjagaku... datang mengepakkan sayapnya
Hanya untaian kata indah dan hati tulus yang kupersembahkan
Untuk setiap nyanyian yang ia tujukan untukku
Mengantarku ke dalam mimpi indah dengan suara emasmu

Malaikat penjagaku... suara emasmu adalah harta untukku
Kujejaki jalan ini dengan pengharapan
Semoga selamanya kau dan aku bersama
Dalam sebuah kedamaian dan hati yang bahagia

Kau bilang padaku...
"Adikku, aku akan selalu menjagamu..peri kecilku.."
Atas permohonanku padamu waktu itu...
"Kakak...jaga aku ya...malaikat penjagaku..."


"Gimana, Kak?"

"Ray..."

"Ya?"

"Ini puisi terindah buat Kakak, kamu adalah peri kecil Kakak, Kakak berjanji akan selalu jaga kamu,"

"Kak... aku sayang Kakak,"

"Kakak juga sayang sama kamu, Ray. Tetap jadi peri kecil Kakak ya,"

Kak Dea tersenyum dan meneteskan air mata haru, aku pun memeluknya erat, seolah tidak ingin berpisah. Namun aku tak menyadari, Kak Rio ternyata dari tadi berdiri di dekat pintu. Ketika aku melepas pelukanku, aku menoleh, dan Kak Rio menatapku sinis.

"Dasar adik manja, kekanak-kanakan, jangan sok ya kamu, mentang-mentang paling muda disini," ujar Kak Rio sambil menghampiriku dan kemudian mencubit tanganku dengan keras

"Aduh...aduh...sakit, Kak...sakittt..." aku meringis

PLAKKKK!!!

Aku tak percaya, Kak Dea menampar Kak Rio dengan begitu keras di hadapanku. Kak Rio pun melepas cubitannya dari tanganku, aku mundur, aku takut, aku sedih. Melihat ketiga Kakakku yang tak pernah akur, membuatku sakit hati, sebenarnya bukan keluarga seperti ini yang aku inginkan. Aku ingin, keluargaku rukun dan saling menyayangi, bukannya saling menyakiti seperti ini.

"Dea!! Kamu apa-apaan sih??"

"Kamu yang apa-apaan!! Ray nggak salah, kenapa kamu cubit dia?? Dasar kurang ajar!!"

"Kamu yang kurang ajar! Nampar orang sembarangan!"

"Itu karena kamu nyubit peri kecilku! Kamu nggak boleh nyakitin dia, Rio!"

Kak Rio terlihat terperangah, kemudian ia menoleh ke arahku dan menatapku tajam, aku menunduk takut, kemudian Kak Rio membuang muka dengan tatapan penuh kebencian.

"Adik manja nggak berguna kayak dia yang kamu sebut peri kecil? Sadar, Dea... mana ada peri kecil tapi pembunuh??"

"Dia bukan pembunuh!! Jangan terus-terusan nyalahin dia!! Ray nggak salah!!"

"Sudahlah, kamu mungkin udah kena hasutannya, dasar, anak kecil penghasut,"

"Aku bukan penghasut, Kak..." ujarku pelan

"Ngejawab lagi kamu, berani ngelawan ya?"

"Rio!! Sudah, pergi sana... jangan ganggu Ray lagi!!"

"Cih,"

Kak Rio kemudian keluar dan menendang pintu kamar Kak Dea, Kak Dea kemudian memelukku.

"Kak Alvin sama Kak Rio nggak sayang, ya sama aku?" tanyaku polos

"Mereka sayang kok sama kamu..."

"Tapi kok mereka galak sama aku?"

"Mulut mereka boleh mencaci, memaki, bahkan menyakiti kamu... tapi hati mereka, nggak pernah bisa bohong, mereka nggak bisa membohongi kalau mereka sayang sama kamu..."

"Hah? Masa, Kak?"

"Percaya deh sama Kakak,"

Aku pun tersenyum dalam pelukan Kak Dea.

"KEESOKAN HARINYA"

Aku sedang berada di sekolah, aku masih duduk di kelas 6 SD. Hari itu, aku membawa banyak lembaran puisi karena aku akan mengikuti lomba mengarang dan membaca puisi tingkat antar-sekolah, karena hobiku, aku terpilih menjadi satu-satunya wakil dari sekolahku. Kini, aku sedang duduk sambil merapikan puisi-puisiku, setiap perwakilan akan membacakan sebuah puisi, dan aku akan membacakan puisi tentang keluargaku.

"Aku baca yang mana ya? Jadi bingung,"

Tiba-tiba, datanglah seorang anak perempuan, ia tampak manis dengan pita berwarna biru muda yang mengikat rambut hitamnya. Wajahnya polos, kulitnya bersih, matanya pun bulat dan bening. Senyum tulusnya selalu menghiasi wajah manisnya itu, ditambah lagi sifatnya yang baik, membuatku senang berteman dengannya.

"Hai, Ray... kamu lagi siap-siap ya, buat lomba puisi?"

"Ya, Acha..."

Temanku itu bernama Acha, dia adalah teman yang paling baik yang pernah kukenal.

"Wah, puisi kamu banyak banget ya, kamu jago banget buat puisi,"

"Hehe, nggak juga sih, Cha. Aku tiap hari memang sering mengarang puisi, nggak terasa kalau aku sudah buat sebanyak ini,"

"Tapi kamu hebat banget, kamu dapet inspirasi dari mana aja, Ray?" Acha pun duduk di sebelahku

"Ya, dapet inspirasinya sih dari mana aja... tapi selebihnya dari keluarga,"

"Wow! Pasti keluarga kamu harmonis banget, sampai bisa jadi inspirasi..."

DEG!!
Aku merasa agak sedih, kalau saja Acha tau inspirasiku bukan berasal dari keharmonisan sebuah keluarga, entah apa yang akan ia katakan, kalau saja dia tau untaian kata itu berasal dari kehancuran hubungan adik-kakak, entah apa yang akan meluncur dari mulutnya.

"Bukan dari keharmonisan, Cha..."

"Hah? Maaf... maaf banget Ray, aku nggak bermaksud bikin kamu jadi sedih, maaf banget ya..."

"Nggak apa-apa, Cha..."

"Tapi aku merasa bersalah,"

"Beneran, Cha... nggak apa-apa..."

Acha menatapku dengan tatapan bersalah, aku hanya membalas dengan sebuah senyuman saja untuk meyakinkan aku baik-baik saja, aku harus tegar untuk membacakan puisi nanti. Aku menghela nafasku...

"WAKTU PERLOMBAAN"

"Ray, nanti ketika baca puisi, jangan sampai grogi yah," ujar Bu Ucie, wali kelasku

"Iya, Bu..."

"Kamu harus bisa membanggakan sekolah kita, Ray..." Bu Ira, kepala sekolahku, menyemangatiku

"Pasti, Bu... dimohon doanya, Bu..."

Tak lama, aku melihat ketiga Kakakku datang, Kak Dea menghampiriku, tapi kulihat Kak Alvin dan Kak Rio terlihat tidak senang.

"Ray... kamu memang adik yang hebat... berjuang ya, Ray..."

"Kak, Kak Alvin sama Kak Rio ikut juga?"

"Iya,"

"Mereka mau?"

"Tentu,"

Kemudian, kudengar suara Kak Alvin.

"Kita kesini juga karena terpaksa, dirumah nggak ada kerjaan," ujar Kak Alvin

"Ya, daripada dirumah diem aja, mending ikut Dea deh, meski nggak niat," tukas Kak Rio

"Nggak niat juga nggak apa-apa kok, Kak.. aku udah seneng kok," aku tersenyum

Kak Alvin dan Kak Rio diam saja.

"Doakan aku ya," pintaku pelan pada Kak Alvin dan Kak Rio

"..." mereka tak menjawab, mereka langsung berjalan dan duduk di bangku penonton.

Tanpa terasa, sang pembawa acara lomba telah naik ke atas panggung, keringat dinginku mengucur, aku hanya bisa gugup sambil sesekali mondar-mandir ke kamar mandi, habis itu aku meminum air mineral, dan hanya bisa gigit jari karena aku terlalu gugup.

"Nah, kali ini... kita akan lihat aksi adik-adik yang berprestasi dalam bidang puisi, mereka adalah anak-anak terpilih yang pintar-pintar tentunya... nah, sekarang, kita panggilkan saja peserta pertama, namanya adalah Ahmad Fauzy Adriansyah, dari SD Bina Bangsa," ujar Kak Okky, sang master of ceremony

Peserta pertama naik ke atas panggung, anaknya terlihat pintar, senyumnya juga tulus, kelihatannya dia anak yang baik, aku ingin sekali berteman dengannya.

"Nah, Ahmad Fauzy Adriansyah... nama panggilan kamu siapa?" tanya Kak Okky

"Ozy, Kak..."

"Oh, Ozy... sekarang, kamu mau bacakan puisi tentang apa?"

"Tentang keindahan alam, Kak..."

"Wah, bagus sekali. Semuanya, kita lihat yuk Ozy membaca puisi, silakan, Ozy..." Kak Okky pun segera turun dari atas panggung

Ozy pun segera membacakan puisinya.
Alam...

Hamparan sawah... bertabur kehijauan
Bentangan laut... berkilau biru
Cahaya mentari... Sinari bumi
Tentramkan hati... Sinari diri...

Kicauan burung nan merdu...
Alunan nyanyian alam mengadu...
Bersatu dalam harmoni nan syahdu...
Kusyukuri nikmat alam ini selalu

Bak fatamorgana yang sulit kupercaya
Bak oase ditengah huru-hara dunia
Karunia alam tak terhingga
Yang indah dan mempesona...
"Terima kasih," ujar Ozy

"Wah, Ozy... bagus sekali puisi kamu,"

"Makasih banget, Kak..."

Ozy pun turun dari panggung, kemudian ia melihatku dan menghampiriku.

"Hai..."

"Hai juga,"

"Nama kamu siapa? Aku Ozy,"

"Namaku Ray... salam kenal ya, Ozy..."

"Salam kenal juga, Ray..."

"Puisi kamu bagus banget,"

"Terima kasih, Ray..."

Tak lama, peserta kedua naik ke atas panggung.

"Peserta kedua, namanya Anak Agung Ngurah Deva Ekada Saputra dari SD Putra-Putri Bangsa, kamu biasa dipanggil Deva, ya?"

"Ya, Kak..."

"Nah, sekarang... kamu baca puisi kamu ya,"

Deva pun membacakan puisinya.
Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Tak lelah mengajari...
Diriku yang masih polos ini...
Kau beri ilmu dengan hati
Sayangi diri ini bagai anakmu sendiri

Tiap lembar yang kau bacakan
Berarti segudang manfaat yang kudapatkan
Tiap kata yang kau tuliskan
Berarti hamparan kesuksesan yang kuimpikan

Pahlawan itu.. tak pernah mengharap balas
Walau kadang muridmu malas..
Tetap tekun mengajari dan tulus membimbing
Guruku... aku cinta dirimu...

Sekarang giliranku naik, Ozy pun menyemangatiku, segera kubuang segala rasa gugupku, ketika aku naik ke atas panggung, perasaanku bercampur aduk. Ada bahagia, tapi gugup dan sedih, apalagi ketika aku melihat kakakku.

"Nah, kalau ini namanya Muhammad Raynald Prasetya, dari SD Mentari, kamu biasa dipanggil Ray, ya?"

"Iya..."

"Nah, sekarang, baca ya puisinya,"

Aku menarik nafas dalam-dalam, jantungku berdebar...
My Family... My Life

Walau Bunda... hanya bisa menatap dari surga
Dan Ayah... hanya bisa mengawasi dari atas sana
Aku masih punya malaikat penjaga...
Tiga malaikat penjaga...

Walau aku kadang membuatnya marah, kesal...
Tapi sesungguhnya aku menyayangimu...
Tiap debaran jantung yang berdetak ini..
Sesungguhnya adalah denyutan untuk hidupmu, Kakak...

Tiga orang malaikat penjaga... berparas tulus
Menjagaku kala dinginnya malam menusuk kalbu
Semua jeritan tangis nakalku yang kadang mengusikmu
Adalah caraku untuk mendapatkan perhatianmu

You're my life... I'll die if you die
You're my life... I'll cry if you hurt
My family... My life... I'll smile if they happy
And my family... my life... I'll make you proud of me... Forever
"Terimakasih,"

Semua penonton bertepuk tangan, juri-juri memberikan standing applause, rasanya masih tak percaya. Aku melihat, Kak Dea menghapus air mata bangganya, kulihat Kak Rio dan Kak Alvin tersenyum, walau hanya tersenyum tipis, tapi itu membuatku bahagia tak terkira. Tiba-tiba, Kak Okky menghampiriku, dia memberi jempolnya tanda bahwa puisiku bagus. Kakiku bergetar, kebahagiaan ini memuncah.

Aku pun turun ke bawah panggung, sambil menunggu pengumuman pemenangnya, aku pun memejamkan mata...tiba-tiba kudengar sayup suara.

"Pemenang lomba puisi antar sekolah ini... adalah..................... Muhammad Raynald Prasetya..."

Aku terperanjat, guru-guru menciumku, aku pun naik kembali ke atas panggung, para juri sudah memegang sebuah trophy, kemudian diberikan kepadaku, aku tersenyum sambil menunjukkan piala itu pada semua penonton. Ketiga Kakakku ternyata menyusulku ke atas panggung, Kak Dea memelukku erat, Kak Alvin dan Kak Rio bertatapan, kemudian menyalamiku dan mengelus kepalaku.

"Kamu memang adik yang hebat,"

"Maafkan sikap Kakak selama ini ya,"

Aku mengangguk dan menghapus air mataku, ternyata kesabaranku ada hasilnya, aku bisa meluluhkan hati kedua Kakakku itu. Kini, aku mendapatkan apa yang selama ini aku impikan, kehangatan sebuah keluarga. Aku menatap langit, walaupun awalnya aku merasa tak bisa menjalaninya, tapi ternyata aku bisa mengalahkan keadaan, kini Kak Alvin dan Kak Rio sudah tak lagi membenciku. Aku larut dalam tangisan dan pelukan semua kakakku...

Dan memang benar.... aku punya tiga malaikat penjaga sekarang...
Ketika Kebencian Memudar

Ketika rasa benci memudar... aku bisa terbang menembus pelangi
Ketika rasa amarah memudar... hanya air mata haru yang mendera...
Jiwa yang bahagia... hati yang tak lagi terluka
Semuanya karena tiga malaikat penjagaku...

Aku bersyukur jadi seperti ini...
Walaupun rasanya dulu tak mungkin...
Sinar mata itu... menjadi sumber semangatku...
Yakinkan aku... tuk menjadi yang terbaik

-End-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar